Minggu, 18 Juli 2010

faktor penyebab orang menjadi gila

Krisis keuangan dunia belum juga usai. Bahkan, imbasnya diperkirakan lebih menggedor pada tahun ini. Namun, dampak krisis secara psikologis sudah mulai menjangkiti sejumlah orang. Krisis ekonomi dan orang stres atau orang gila (orgil) memang tak terpaut langsung. Misalnya, karena krisis memburuk, jumlah orang gila bertambah.

Tak adanya kaitan linear, bukan berarti saling meniadakan. Data statistik menunjukkan, krisis berpotensi menyebabkan orang stres, dan lebih parahnya menjadi gila. Di beberapa daerah di Tanah Air, jumlah orang stres dan gila memperlihatkan peningkatan.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri, Hendro Candra, memaparkan, jumlah warga pengidap penyakit gila dan stres di daerahnya dari tahun ke tahun cenderung bertambah.

Bila pada 2007 di kota berpenduduk dua juta jiwa ini jumlah orang gilanya mencapai 2.298 jiwa, pada 2008 melonjak menjadi 6.433 jiwa. Jumlah orang stres pun meningkat.Dinkes setempat mencatat, jumlah warga yang mengalami stres pada 2007 sebanyak 2.994 jiwa. Namun, setahun kemudian, jumlahnya menjadi 6.543 jiwa.''Bertambahnya orang gila dan stres ini tentu memprihatinkan kita semua. Apakah mungkin, ini punya keterkaitan dengan persoalan sosial di masyarakat kita saat ini,'' tanya Hendro, Rabu (11/3).

Kendati tak dapat menyimpulkan, Hendro menyatakan penyebab utama mereka menjadi gila dan stres karena krisis ekonomi, dari semula memperoleh penghasilan tetap, tiba-tiba berstatus pengangguran karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Beberapa kerabat dekat penderita, tak menampik analisis tersebut. Situasi sosial politik terkini memperparah kondisi mereka.''Bayangkan saja, betapa rakyat tidak bingung. Semakin banyak orang kehilangan pekerjaan, tapi para politikus beriklan bahwa jumlah pengangguran menurun,'' kata seorang kerabat penderita yang enggan disebutkan namanya.

Dia mengkhawatirkan, jika jumlah penderita gila dan stres itu terus meningkat, jelas akan menimbulkan masalah sosial. ''Bayangkan bila orang-orang gila itu berkeliaran di jalanan,'' kata Hendro.Jika di Kediri orang-orang gila itu masih aman, di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung, orang gila terlihat berkeliaran, seperti di perempatan lampu merah, pasar, dan jalan-jalan utama. Padahal, kata Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Pangkalpinang, Armada, setiap bulan pihaknya selalu melakukan razia orang gila.

Keberadaan mereka yang mengganggu warga, menjadi alasan razia itu. ''Seperti mengejar sambil membawa kayu. Akibatnya, warga resah dan takut,'' katanya, pekan lalu.Namun, yang membuatnya heran, razia tak mengurangi jumlah orang gila yang bertebaran. ''Mereka semakin banyak saja di dalam kota. Dan kebanyakan tak diketahui asal-usulnya.''

Pernah suatu ketika, ungkapnya, razia itu menjaring orang gila yang sudah dimasukkan ke rumah sakit jiwa (RSJ) setempat. ''Kami tidak tahu persis, apakah mereka melarikan diri dari RSJ atau bagaimana.''Impitan ekonomi, keinginan kuat yang tidak tercapai, dan faktor keturunan, menurutnya, menjadi penyebab mereka gila.

Pertengahan Februari lalu, warga Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI); dan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Provinsi Sumatra Selatan, dibuat resah akibat puluhan orang gila berkeliaran di jalan-jalan utama kota itu.Mereka, kata Rifai (55 tahun), warga Jl Letjen M Yusuf Singadekane, Kayuagung, tak berpakaian dan menebarkan bau busuk. Setidaknya ada tiga orang gila yang selalu mondar-mandir di tempat tinggalnya.

''Terkadang, ada yang mengamuk dengan mengayunkan kayu atau batu ke arah rumah warga,'' tambah Dayat (43), warga Kelurahan Timbangan, Indralaya.Fenomena meningkatnya jumlah orang gila dan stres, juga terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat. Satu-satunya RSJ di Kota Hujan itu, yakni Rumah Sakit Marzuki Mahdi (RSMM), sudah tak muat lagi menampung pasien baru.

Per medio Februari lalu, kata Kahumas RSMM, Abdul Farid Patuti, 420 tempat tidur yang tersedia di rumah sakitnya ludes ditempati pasien. Sebagian besar adalah penderita scizophrenia akut. Sebanyak 70 pasien mengalami gangguan jiwa akibat penggunaan narkoba.

Terhitung mulai pertengahan 2008, ungkapnya, jumlah pasien jiwa yang dirawat di RSMM meningkat signifikan. Kebanyakan mereka berlatar belakang ekonomi pas-pasan. ''Perkiraan kami, ada hubungan antara keadaan ekonomi sekarang dengan peningkatan jumlah pasien. Sebab, rata-rata yang dirawat baru-baru ini pikirannya terganggu akibat beban ekonomi yang terlalu berat,'' paparnya.

Walau, itu bukan faktor satu-satunya. Ada faktor yang lain, seperti sosial, keturunan, biologis, dan hormonal. Pada 2006, RSMM menerima dan merawat pasien kejiwaan sebanyak 15.534 orang. Pada 2007, dari Januari sampai Juli, sebanyak 10.655 pasien sakit jiwa dirawat.Sehubungan dengan terus bertambahnya jumlah pasien, lanjut Abdul Farid, RSMM menerapkan aturan baru mengenai batasan pengobatan masa perawatan. ''Pasien hanya diberi waktu tiga bulan untuk rawat inap. Selanjutnya dikembalikan ke keluarga.''

Membludaknya pasien gangguan kejiwaan, juga dialami RSJ Menur, Surabaya, Jawa Timur. Kondisi ini terjadi sejak pertengahan 2008. ''Mereka yang datang rata-rata dalam kondisi berat, seperti fobia, depresi, dan cemas. Mulanya, mereka sembunyi-sembunyi datang ke RSJ, karena enggan atau malu,'' kata Direktur RSJ Menur Surabaya, Hendro Riyanto, akhir Februari lalu. Penyebabnya, urai Hendro, di antaranya adalah faktor rapuhnya kondisi kejiwaan, perubahan sosial, gangguan adaptasi, dan pergeseran ekonomi.

Kepala Panti Bina Laras III Jakarta Timur, Sri Winarni, memprihatinkan maraknya kasus gangguan jiwa di usia produktif. Penyesalan atau kekecewaan tak terperi menjadi salah satu pencetus gangguan jiwa. c82/afa/ant

Tidak ada komentar:

Posting Komentar